Hari itu.
Ia melewati pintu kelas tepat setelah
15menit toleransi. Mungkin sudah tau, mungkin tidak mau tau. Sedetik kemudian
hilang dari pandangan mata.
Sekebas angin mengalihkan pandanganku. Oh,
dia baru saja duduk disampingku. Tangan kirinya di mejaku.
Tak ku hiraukan. Aku kembali pada pandangan
yang seharusnya. Siapa namanya ya? Ah, ternyata pikiranku belum kepada yang
seharusnya.
Minggu selanjutnya.
Aku terlambat. Tentu tidak dengan sengaja.
Tentu tidak dengannya. Tunggu, siapa?
Deretan belakang habis sudah. Tangan teman
baikku melambangkan permohonan maaf dari belakang sana. Aku masih diam
dihadapan papan tulis. Disamping yang maha kuasa dikelas.
Suara berat terdengar ditelingaku “gue ngga
gigit kok” sambil memindahkan tas dikursi sebelahnya. Tentu tasnya. Tentu kau
tau siapa. Ia tepat dihadapanku. Aku duduk disampingnya, lagi.
Minggu kelanjutannya.
Aku terlambat, lagi. Kuparkir mobil
semauku. Keluarlah aku bertepatan dengannya yang lewat depan mobilku. Ia tersenyum
padaku. Oh Tuhan.. terimakasih.. indah sekali keterlambatan ini.
“Hai!!” ah suara itu.. dia teman baikku, sama
terlambatnya denganku. Aku mengingatkannya bahwa ia yang baru saja ‘jadi’, berhutang
cerita padaku. Ibu jarinya diangkat, lalu telunjuknya menunjuk-nunjuk
lelaki yang berada beberapa langkah didepannya.
Tunggu, apa maksudnya? Apa dia tau? Astaga,
tau apa maksudku ini. Aku mengabaikan simbol terakhirnya itu. Namun tak lagi
setelah mereka sejajar dan lelaki itu mulai merangkulnya.
Baik, aku mengerti. Terimakasih senyumnya.
Kan kuredakan hatiku.
Meutia Ersa Anindita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar